
Waktu Cinta Monyet Muncul di WA Anakku
Malam itu, seperti biasa, aku duduk di kamar bersama istriku dan ponsel istriku di tangan. Kami memeriksa chat di WA anak perempuan kami. Jangan salah paham—kami bukan tipe orang tua yang hobi mengintip privasi anak. Tapi sudah beberapa hari ini aku dan istri merasa ada yang aneh.
Anakku, Kiya, masih SD kelas lima. Ceria, polos, dan mulai suka nyanyi lagu Selalu Ada di Nadimu, Ost Film Jumbo. Tapi yang membuatku curiga adalah isi chat WhatsApp-nya. Ada satu anak laki-laki yang beberapa kali kirim pesan penuh kode—semacam tebak-tebakan inisial, emoji penuh arti, dan kalimat-kalimat misterius tentang “orang yang aku suka”.
Awalnya, aku biarkan. Anggap saja cinta monyet masa SD. Tapi malam itu, masuk lagi satu pesan dari anak laki-laki lain—yang baru pertama kali muncul di daftar chat.
“Hai, aku R.”
“Besok Senin ujian ya?”
“Jujur, sebenarnya aku seneng sama kamu.”
Mataku membulat. “Wah, ini udah mulai ‘tembak-tembakan’?” pikirku.
Entah setan mana yang lewat, aku iseng. kucari fotoku yang sedang tersenyum, dan di foto itu kuketik: “Masa sih?”
Nggak disangka, dia balas:
“Iya.”
Anak kecil memang polos, ya.
Langsung kupencet video call. Kamera depan kuhalangi dengan tangan. Beberapa detik… dia angkat. Yang terlihat? Jendela dengan gorden pink.
Lalu, aku buka tangan pelan. Muncul wajahku.
Anak itu refleks panik. Kamera langsung terbalik, lalu… panggilan ditutup.
Aku ngakak. Tapi aku tahu, di seberang sana, dia pasti deg-degan setengah mati. Mungkin sekarang HP-nya dilempar ke kasur. Mungkin dia sedang mikir, “Tadi itu… apa ya?”
Aku spontan kirim pesan untuk memberikan dia pelajaran berikutnya:
“Anak siapa kamu?”
Pesanku, hanya centang 1, kemudian setelah beberapa menit berlalu muncul balasan pesan:
“Maafkan anak saya pak, sebenarnya anak saya disuruh teman saya. Sifat anak saya memang begitu, nanti saya marahin.”
Aku bengong. Terus tertawa. Istriku yang duduk di sebelah ikut cekikikan.
“Anak saya disuruh teman saya.”
Logika mana yang dipakai ini? Atau jangan-jangan teman orang tuanya juga error!
Akhirnya kubalas:
“Ketikannya dibenerin. Itulah pentingnya sekolah, mengarang pun ada ilmunya.”
Dia membalas:
“Sekali lagi, maafin saya pak!”
Setelah gelak tawa reda, aku menatap ponsel itu cukup lama.
Kami sadar, Kiya sedang tumbuh. Dunia tempat dia tinggal kini bukan cuma rumah dan sekolah—tapi juga layar 6 inci penuh emoji, notifikasi, dan perasaan yang dia sendiri belum tentu paham.
Aku harus mengajak Kiya ngobrol, besok. Kebetulan dia sudah tidur.
Aku dan istri khawatir jika ada yang sengaja membuat anak kami GR dan baper. Apalagi jika mereka ternyata hanya “bertaruh”.
Namun, apapun modusnya, itu sangat mengkhawatirkan kami.
Kiya pasti belum bisa meregulasi perasaannya sendiri. Untungnya kami mengetahui lebih awal dan bisa mendampinginya.
Aku ketuk pintu kamarnya pelan. Dia sedang duduk sambil gambar. Aku duduk di sampingnya.
“Sayang,” kataku pelan, “Ayah boleh ngobrol?”
Dia berhenti menggambar. Matanya bingung, sedikit takut. Mungkin dia tahu apa yang sedang kumaksud.
“Ayah semalam… balesin chat anak yang namanya R. Dia langsung kabur waktu ayah video call.”
Dia menunduk, malu.
Aku tertawa kecil. “Tenang, ayah nggak marah. Yang WA kan dia. Ayah cuma pengen kita ngobrol. Gini lho… WA itu bukan mainan. Apalagi kalau sudah mulai ngomong soal suka-sukaan.”
Dia mulai cerita, terbata. Ternyata anak itu teman sekolahnya, Kakak kelasnya. Ternyata dia merasa risih kalau ada chat dari temannya yang menjurus ke arah suka-sukaan.
Aku angguk-angguk.
“Nggak salah kok kalau kamu seneng chat sama teman-teman. Tapi kamu juga harus hati-hati. Yang penting, kamu selalu jujur sama ayah dan mama. Karena kami di sini bukan buat marahin, tapi jagain.”
Dia mengangguk. Aku bisa lihat wajahnya lega.
Sebelum keluar dari kamarnya, aku sempat bilang:
“Dan kalau kamu nanti mau belajar cara bales chat aneh-aneh itu… ajak ayah, kita bisa kerjain bareng-bareng. Seru juga tuh!”
Dia ketawa. Malu-malu.
Catatan Seorang Ayah
Menjadi orang tua di era digital bukan soal memata-matai, tapi soal mendampingi. Anak-anak sekarang tidak hanya tumbuh di dunia nyata, tapi juga di dunia layar. Dan di sana, cinta monyet bisa datang lewat notifikasi.
Tugas kita bukan membentengi dengan tembok tinggi, tapi membangun jembatan komunikasi yang kuat. Supaya saat mereka bingung, mereka tahu: ada tempat pulang yang aman. Ada ayah dan ibu… yang siap diajak ngobrol.
Dan kalau sesekali kita bisa bikin mereka (atau gebetannya) kaget lewat video call, ya… anggap saja bonus lucu dari profesi sebagai orang tua. 😄
Kalau kamu suka kisah ini, tunggu saja. Siapa tahu besok-besok ada episode baru:
“Balas Chat Pakai Stiker Ayah, Bikin Gebetan Bingung Level Dewa.”
Karena cinta masa kecil itu lucu.
Tapi jadi orang tua yang bisa tertawa sambil menjaga?
Itu jauh lebih indah.
Jangan Lupa Bagikan:
Baca Artikel Lainnya: